Setelah aksi berakhir, Joko tidak secara rinci menjelaskan tujuan dari aksi tersebut, tetapi ia meyakini para pemimpin sudah memahami pesan yang ingin disampaikan. “Sesuai moto tadi, tetap kita tidak ada tendensi apa-apa. Cuma ya kita orang Jawa tapa mbisu biar pemimpin-pemimpin kita yang tahu yang menjawab,” ungkapnya.
Meskipun aksi ini digelar di depan rumah dinas Gibran, Joko tidak membantah bahwa aksi tersebut berhubungan dengan Gibran. Ketika ditanya mengapa aksi ini dilakukan di lokasi tersebut, Joko berkata, “Kalau enggak ke Balai Kota atau ke Loji Gandrung, mau kemana lagi?” Ia juga mengaku bahwa aksi tersebut mungkin memiliki kaitan dengan perkembangan terkini di Indonesia.
Joko menjelaskan bahwa tapa bisu adalah cara masyarakat Jawa untuk mengingatkan pemimpin mereka, dengan ungkapan, “Orang Jawa dari moyang kita dulu yang namanya tapa bisu ya yen kowe dielingke wegah, aku tak meneng wae (Kalau kamu tidak mau diingatkan, lebih baik saya diam saja).” Meski begitu, ia membantah bahwa aksi ini berkaitan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang gugatan pasal 169 q Undang-undang nomor 7 tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum (Pemilu), yang mengatur batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden.