<strong>JENGGALA.ID</strong> - Sebuah studi baru-baru ini mengungkap bahwa mayoritas warga Indonesia memiliki harapan besar terhadap pemerintah dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Studi ini dilakukan oleh Pusat Komunikasi Perubahan Iklim Universitas Yale di Amerika, bekerja sama dengan Development Dialogue Asia, Communication for Change, dan Kantar Indonesia. Tujuan studi ini adalah untuk membandingkan pengetahuan dan sikap warga di berbagai negara, termasuk Indonesia, terkait perubahan iklim. Studi ini berlangsung pada bulan Juni-Juli 2021 dan melibatkan wawancara dengan 3,490 orang Indonesia yang berasal dari 34 provinsi. Hasil studi menunjukkan bahwa sekitar 75 persen responden di Indonesia menaruh harapan tertinggi pada pemerintah untuk bekerjasama dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Kemudian, diikuti oleh masyarakat (73 persen) dan warga Indonesia sendiri (71 persen).<!--nextpage--> Menurut Anthony Leiserowitz, PhD, yang merupakan peneliti utama studi ini, "Temuan ini menunjukkan perlunya kolaborasi antara pemerintah, sektor bisnis, para pendidik, dan masyarakat sipil dalam membangun pemahaman bersama serta mendukung tindakan terkait perubahan iklim." Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim, penelitian tentang persepsi masyarakat terkait hal ini masih terbatas. Hasil studi Yale memberikan pandangan yang lebih jelas bagi para pelaku dan aktivis perubahan iklim di Indonesia, termasuk mereka yang bergerak di bidang komunikasi perubahan iklim, serta memberikan panduan bagi pemerintah dalam upayanya melayani masyarakat. Namun, masih ada sejumlah besar masyarakat Indonesia yang memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai pemanasan global atau krisis iklim.<!--nextpage--> Studi yang sama juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (sebanyak 76 persen) mengaku "sedikit" tahu tentang pemanasan global (55 persen) atau bahkan belum pernah mendengar tentangnya (20 persen) sebelum menerima penjelasan mengenai pemanasan global. Sebaliknya, hanya 22 persen warga Indonesia yang mengaku memiliki pengetahuan "sedikit" tentang pemanasan global, dan hanya 2 persen yang mengaku "banyak" tahu tentang masalah ini. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan masyarakat tentang ancaman krisis akibat perubahan iklim yang semakin nyata dalam beberapa kesempatan. Beliau menekankan bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah Indonesia, tetapi juga menimpa negara-negara di seluruh dunia. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP 26 pada tahun 2021, Jokowi juga menyoroti pentingnya mengatasi perubahan iklim sebagai ancaman besar terhadap pembangunan global. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia, dengan potensi alam yang besar, berkomitmen untuk berperan dalam penanganan perubahan iklim.<!--nextpage--> Jokowi mencatat bahwa deforestasi di Indonesia telah menurun secara signifikan, mencapai tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir. Selain itu, kebakaran hutan juga mengalami penurunan sebesar 82 persen pada tahun 2020. Indonesia juga telah melakukan rehabilitasi lahan mangrove seluas 600 ribu hektare, yang merupakan yang terluas di dunia, serta merehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis antara tahun 2010 dan 2019. Di sektor energi, Indonesia telah memulai pengembangan ekosistem kendaraan listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga berencana memanfaatkan energi baru terbarukan, seperti biofuel, serta mengembangkan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.<!--nextpage-->