Persoalan munculnya perubahan atau pergeseran tata ruang adalah dampak minimnya pengawasan dan pengendalian yang dianggap melanggar dari sebuah perencanaan.
“Kami sebagai praktisi perencanaan tata kota sudah dibekali RTH publik dan private 30%, belum lagi ada sempadan sungai yang menjadi kawasan lindung, tapi ya itu tadi, siapa yang bisa mengendalikan dan mengawasi dalam perjalanannya, bicara sempadan sungai, kita lihat bersama semua sungai dan anak sungai sudah menyempit, dampaknya sudah dipastikan banjir,” tutur Imanda.
Terkait perencanaan pembangunan kota Cimahi yang berkelanjutan, Imanda berharap semua stakeholder yang ada baik pemerintah, akademisi maupun swasta harus duduk bersama mengkaji kembali arah kedepan Kota Cimahi.
“Aspek pengendalian menjadi sumber persoalan setiap kota yang ada di Indonesia termasuk Kota Cimahi, saat ini peran pengendalian tidak pernah berfungsi, termasuk di tatanan pusat. Begitu pun faktanya, kami para planner sebagai salah satu stakeholder merasa tidak memiliki peran dan fungsi dalam membangun sebuah perencanaan kota, kami dipaksa hanya sebagai ‘kuli proyek’ yang tidak memiliki kewenangan, padahal banyak aturan baru yang bagus terkait pengendalian ruang tetapi dilapangan masih sulit diimplementasikan,” ujarnya.